Rabu, 12 Agustus 2009

Akankah Perbedaan Menjadi Perpecahan ?

Memeluk agama Islam adalah mudah anda hanya tinggal mengucapkan dua kalimat syahadat, beres sudah. Tetapi konsekuensi dari dua kalimat tersebut sangatlah beragam tergantung pemahaman anda masing-masing. Masalah yang umum dialami mualaf adalah pertanyaan menganut madzab apa dalam beribadah/fikih. Memang mayoritas ulama Indonesia menganut madzhab Syafii. Tetapi dalam kenyataannya sedikit sekali kajian tentang kitab-kitab beliau. Padahal kitab Al Umm adalah kitab utama dalam madzhab Beliau. Apalagi kitab Al Muwatho karya Imam Malik RA, Imam Ahmad bin Hambal atau Imam Abu Hanifah.

Terus bermadzhab apakah kita ? Jawabnya tentu saja bermadzhab kepada Rasululloh SAW. Sebuah jawaban yang cukup simple. Karena semua ajaran Islam memang bermuara pada Rasululloh SAW. Pertanyaan berikut adalah bagaimana caranya ? Caranya adalah dengan mengamalkan semua hadits-hadits shahih. Bukan hadits dhoif apalagi maudlu. Terus bagaimana dengan hadits hasan ? Jawabannya adalah boleh selama tidak bertentangan dengan hadits shahih.

Terus bagaimana jika ada perbedaan yang timbul dalam pengamalan hadits-hadits shahih tersebut ? Jawabnya sah-sah saja. Hal tersebut mengingatkan saya akan sebuah kisah dari Imam Hasan Al Bana ketika ditanya muridnya tentang bacaan Al Fatihah dalam Sholat berjamaah. Bagi yang bermadzhab Syafii membaca Al Fatihah bagi makmum adalah suatu keharusan, sedangkan bagi yang bermadzhab Maliki cukuplah bacaan imam saja bagi makmum. Padahal hukum membaca Al Fatihah dalam sholat adalah Wajib bukan Sunnah. Tapi semua orang memakluminya.

Juga pernah ku mendengar dari guruku sewaktu kecil, Beliau bercerita tentang ahlak Imam Ahmad bin Hambali ketika Imam Ahmad pergi ke rumah gurunya Imam Syafii. Pendapat beliau adalah tidak perlunya doa qunut pada sholat subuh, sedangkan gurunya Imam Syafii mewajibkannya amalan tersebut. Tetapi Imam Ahmad melakukan qunut hanya untuk menghormati gurunya (Imam Syafii). Alangkah indahnya akhlaq Beliau.

Tetapi sekarang banyak perbedaan kecil yang memicu perselisihan timbul di lingkungan kita. Masing-masing tidak mau mendengar dan mencari bersama dasar hukum yang lebih baik. Kemudian diamalkan bersama.

Contohnya adalah bacaan dalam kitab Al Barjanji, di satu pihak mereka bilang membaca shalawat kepada Rasululloh dan di pihak yang lain itu adalah bid’ah dengan berpendapat bahwa semua amalan/ibadah yang bertujuan mendapatkan pahala harusnya berdasarkan petunjuk dari Rasul SAW.

Pendapat saya pribadi sebagai orang awam adalah mengacu pada metode di atas. Yaitu adakah bacaan sholawat nabi yang diajarkan oleh Rasul SAW yang mulia. Ternyata ada, bacaanya persis seperti dalam tahiyat ketika sholat. Bukannya bermaksud mengecilkan peran Syaikh Al Barjanji, tetapi cukuplah dengan apa-apa yang diajarkan oleh Rasul SAW. Karena pada kenyataannya ketika kecil di daerah kelahiran (Juwana-Pati), setiap malam jumat selalu membaca kitab Al Barjanji tersebut. Tetapi seingat penulis hal tersebut tidak pernah disuruh oleh guru kami (semoga Allah memberkahi beliau). Apalagi sekarang beliau adalah sebagai seorang yang terkemuka di kabupaten Pati. Seandainya kami tidak membacapun tidak pernah ditegur ketika itu. Sedangkan kalau tidak ikut mengaji kitab Nahwu Shorof apalagi Fathul Bari, beliau sering menegurnya.

Disisi lain, ada yang menisbatkan pendapatnya berdasarkan perkataan gurunya tanpa ada filter atau menelan mentah-mentah tanpa memberikan dalil-dalil sehingga membuat orang lain terperangah. Apalagi disampaikan dengan cara-cara yang tidak simpatik.

Semoga saja kita lebih teliti dan kritis dalam menanggapi suatu masalah. Dan semoga Allah SWT memberikan kekuatan untuk menerima dan mengamalkan suatu kebenaran yang kita terima meskipun bertolak belakang dengan kebiasaan kita.

Semoga Allah menjadikan Indonesia lebih baik.