Rabu, 15 Juli 2009

Penyebab Mesin Susah Hidup Saat Panas

Lazimnya problem yang sering terjadi di motor, saat mesin dalam kondisi lama tidak dipakai atau dingin akan susah distart. Namun yang dialami Astri Panglima pada Yamaha Scorpio Z keluaran 2005 dan Jeff Prasetia dari Bandung, Jabar pada Suzuki Satria FU150 2008-nya justru sebaliknya. “Kalau sudah panas sekitar 1 jam pakai, mesinnya jadi susah dihidupkan, bahkan suka enggak mau nyala lagi,” keluh Astri pada OTOMOTIF via email.

Kejadian senada dialami Indrawan dari Lampung pada Honda Tiger Revolution 2008-nya. “Sudah dibawa ke bengkel tapi tetap saja masalah itu tidak teratasi,” ujar Indra, sapaan akrabnya. Menurut Endro Sutarno, instrukstur Astra Honda Training Center (AHTC), ada beberapa kemungkinan yang menyebabkan hal tersebut.

“Bila settingan karbu masih standar pabrik, bisa jadi penyebabnya karena kerenggangan klep berubah. Atau gap businya tak sesuai spesifikasi yang dianjurkan,” urai Endro. Memang kala mesin dingin, ketidaktepatan clearance/gap kedua komponen itu masih mampu mengimbangi permintaan mesin. Tapi begitu suhu mesin meninggi, terjadi pemuaian yang menyebabkan spek-nya berubah melampaui batas ideal.

Tapi bila ternyata spesifikasi kedua part tersebut normal-normal saja, Endro memprediksi permasalah mungkin terjadi pada sektor pengapian. “Karena pada Tiger sistem pengapiannya AC, bisa jadi sepul pengapiannya bermasalah. Itu kalau sampai mesin benar-benar susah dihidupkan lagi ya,” jelas Endro saat dihubungi via telepon seluler.

Pendapat senada dilontarkan Yayat Suryana, chief mekanik Ami Jaya Motor, dealer resmi Yamaha di kawasan Depok 2, Jabar. “Kami juga cukup sering menangani permasalahan seperti ini. Umumnya akibat ada komponen pengapian yang bermasalah. Bisa dari koil yang sudah lemah atau pulser pengapiannya,” bilang Yayat.

Indikasinya begini. Saat mesin panas, lantaran kinerja koil sudah mulai gak benar, biasanya koil akan ikutan panas. “Nah, koil yang mudah panas biasanya akan membuat loncatan apinya jadi ngaco,” terang Yayat. Untuk memastikannya, lanjut Yayat, bisa dicek secara manual. Yakni dengan melihat loncatan apinya dari kabel koil (dites waktu mesin lagi bermasalah susah hidup). Atau bisa juga dengan memeriksa tahanan koilnya.

“Lazimnya di motor Yamaha tahanan koil idealnya sekitar 7,5 – 8 Ohm. Lebih atau kurang dari itu, akan membuat kinerja pengapian jadi gak benar. Tapi bila ternyata kondisi koilnya baik-baik saja, untuk motor bersistem pengapian DC, kemungkinan lain bisa juga karena pulsernya mulai bermasalah. Sehingga waktu mesin panas, kemampuan mengirimkan pulsa pengapian jadi suka ngaco,” tambah Yayat. Untuk memastikannya juga kudu dicek besar tahanannya pula.

“Kalau memang tahanannya sudah di luar batas normal, saya anjurkan untuk diganti baru. Baik itu koil maupun pulser. Tergantunga mana yang bermasalah,” saran Yayat.

Sumber : Otomotifnet.com

Komparasi Bohlam Biru Aftermarket

Selain bohlam standar, di toko-toko aksesori motor juga diperdagangkan yang tipe aftermarket. Dengan dalih pancaran sinarnya lebih terang, maka bola lampu dengan warna biru banyak ditawarkan untuk mengganti bawaan penerang standar motor.

“Banyak merek, tipe dan model yang dijajakan dan semua spesifikasi bohlam biru buat motor jenis bebek sama, yakni 12 V 35/35 Watt,” ujar Edi, juragannnya gerai variasi motor KMS, di kawasan Kemanggisan, Jakbar.

Meski speknya sama, namun pancaran sinarnya berbeda. Nah biar lebih gampang memilih merek mana yang sesuai keinginan, kami membeberkan berapa besar pancaran sinar bohlam biru. Untuk keperluan ini, alat tes yang digunakan Honda Supra Fit keluaran 2006. Metode pengetesan dengan menembakkan sinar bohlam ke tembok yang berjarak 1,5 meter dari motor.

Oh ya sebagai pembanding, juga diukur panjang dan lebar pancaran sinar yang dihasilkan bohlam standar. Hasilnya dengan panjang 80 cm dan lebar 28 cm buat lampu dekat, bohlam standar penerangannya cukup buat mejelajah malam. Pun demikian buat lampu jauh yang panjangnya 70 cm dan lebar 16 cm.

Oh ya, bohlam ini paling cocok dipakai saat tidak musim hujan. Alias dalam kondisi terang. Karena sinarnya cukup membantu motormania.

Osram

Dengan banderol di pasaran Rp 20 ribu, pancaran yang dihasilkan bola lampu merek ini cukup terang. Untuk sinar lampu dekat yang biasnya berukuran panjang 80 cm dan 25 cm, bohlam ini pendarannya cukup melebar. Buat yang lampu jauh, dengan ukuran lebar 72 cm dan lebar 20 cm, bisa membantu penerangan jarak sampai 4 meter di depan motor.

Pasang bohlam biru Osram, posisi lampu dekat dan jauhnya sama dengan bawaan standar. Gak ada yang berubah.

Tako

Cara pasang bohlam biru seharga Rp 30 ribu, enggak membuat posisi lampu jauh dan dekatnya terbalik. Sorot sinar biru yang dihasilkan untuk lampu dekat tergolong enggak terlalu melebar (panjang 70 cm dan lebar 16 cm). Fokus yang dihasilkan ini tentu sangat membantu menjelajah temaram kota.

Sementara buat penerangan jarak jauh, hasil sorotan ke tembok yang panjang 75 cm dan lebar 26 cm akan tetap aman menuntun kita sampai jarak 4 meter ke depan.

Xenon HID

Berbeda dengan saat pasang 2 bohlam biru sebelumnya. Saat aplikasi bohlam biru berbanderol Rp 15 ribu ini, posisi sakelar lampu jauh dekat jadi terbalik (dekat jadi jauh dan sebaliknya). Hmmm… agak bingung, nih.

Untuk lebar pancaran yang dihasilkan pada lampu dekat 30 cm dan panjang 78 cm. Sementara untuk sorotan jauh, spesifikasi panjangnya 60 cm dan lebar 20 cm. Hasil demikian, sorotan lampu Xenon terlalu pendar buat jarak dekat. Namun jarak jauhnya bisa diandalkan.

Kesimpulan
Dengan ukuran semakin panjang dan lebar sorotan pada lampu jarak pendek, bikin penerangan terlalu pendar. Sebaliknya bila ukuran tersebut lebih kecil, maka buat penerangan malam bisa diandalkan. Pun demikian buat spesifikasi ukuran di lampu jauh.

Ada yang perlu diperhatikan saat memutuskan mengganti bohlam standar ke biru. Bila hanya menembus gelapnya malam, bohlam biru bisa sangat diandalkan. Namun bila jalur yang dilalui sedang turun kabut maupun hujan, andalkan bohlam standar.

“Pasalnya sinar kuning lampu standar motor, bisa terlihat pengendara di depan. Berbeda dengan bohlam biru yang menghasilkan sorotan putih dan cenderung menyatu dengan air hujan atau kabut,” ungkap Jusri Pulubuhu, instruktur safety riding dari Jakarta Defensive Driving & Riding Consulting.

Sumber : Otomotifnet.com

Komparasi Booster Accu Aftermarket

Motormania tentu sudah tidak asing lagi dengan part yang sering disebut coil booster (CB). Namun akan sedikit asing dengan yang namanya booster accu (BA). Ya, ini merupakan produk anyar yang belum terlalu banyak beredar di pasaran.

Fungsi utama BA yakni untuk menyetabilkan suplai arus listrik ke pengapian dan rangkaian kelistrikan, terutama tunggangan yang berpengapian DC, sehingga suplai pengapian di ruang bakar lewat busi tetap besar dan maksimal.

Kegunaan lain part ini hampir mirip CB, di mana oleh produsennya juga diklaim bisa meningkatkan performa tunggangan dan bikin irit konsumsi BBM. Namun pemasangan peranti ini pada aki bukan koil.

Nah agar ada gambaran jelas seberapa besar pengaruhnya terhadap kinerja besutan, Tim OTOMOTIF akan melakukan pengujian alat tersebut pada Suzuki Satria FU yang sudah mengusung pengapian DC dan pasang knalpot free flow.

Eits, sebelum melihat hasil tes. Sebaiknya kenali dulu ketiga BA yang akan diuji ini. Di antaranya ada EXR, TDR dan DC Booster.

DC Booster
Produk berbentuk kotak besar (paling gede dari kontestan lain) bertuliskan DC Booster ini terdapat 2 kabel berwarna merah dan hitam. Di pasaran dibanderol Rp 150 ribu. “Kalau suplai kelistrikan dari aki ke CDI dan koil stabil, dimungkinkan api di ruang bakar akan lebih besar. Sehingga pembakaran jadi lebih sempurna dan konsumsi BBM jadi lebih irit,” ungkap Hendry Martin penggawang CV Multiniaga Solusindo di Jl. Joe No.27A, Kelapa III, Jagakarsa, Jaksel. Telp. 021-71006099.

EXR
Peranti ini bisa didapat di Ground Speed (GS) di Jl. Tosiga XI Blok G No.21, Kebon Jeruk, Jakbar, dengan harga Rp 175 ribu. Cara pemasangannya cukup digabung pada aki. Kabel warna merah dipasang pada terminal positif (+) aki, sedangkan kabel warna hitam dipasang pada terminal negatif (-) aki.

“Meski awal dipasang sudah bereaksi, tapi akan lebih terasa kalau sudah dipakai jalan sekitar 2-3 hari,” ujar Eric, penggawang GS. Telp. 021-5482973.

TDR
Produk berbentuk kotak bertuliskan TDR Racing dan berwarna hitam ini juga terdapat dua kabel besar warna merah dan hitam, serta bisa ditebus dengan dana Rp 500 ribu. Cara pasang juga sama dengan BA sebelumnya. “Bila pengapian lebih maksimal otomatis tenaganya juga akan bertambah,” aku Benny, Rahmawan R&D Mitra2000 di Jl. Lodan Raya No.2, Jakut. Telp. 021-6930777.

Masih kata Benny. “Kalau alat mau dipindah ke motor lain, usahakan masing-masing ujung kabel jangan sampai bersinggungan, karena akan mengakibatkan terbakarnya komponen.”

Pengetesan
Berikut proses pengujiannya. Tes pertama yakni mengukur konsumsi BBM, dengan cara motor diisi bensin sebanyak 1 liter dan ditunggangi tester berbobot 65 kg dengan kecepatan rata-rata 60 km/jam sampai bensin habis.

Kemudian tes yang kedua untuk mengetahui seberapa besar penambahan akselerasi, digunakan alat Racelogic yang selanjutnya motor digeber sekenceng-kencengnya untuk memperoleh waktu paling ce¬¬pat dalam me¬¬nempuh jarak tertentu.

Yuk lihat hasilnya. Pada tes konsumsi BBM, se¬belum tunggang¬an dipasang alat, tunggangan mampu menempuh jarak 48 km/liter. Kemudian pengujian dengan Racelogic, sebelum pakai alat pada jarak 0-60 meter mampu ditempuh dalam waktu 04,2 detik dan jarak 0-100 meter ditempuh 07,5 detik.

Hasil selangkapnya lihat tabel di bawah ini.

Konsumsi BBM Bensin Jarak Tempuh
Standar 1 Liter 48Km
DC Booster 1 Liter 57Km
EXR 1 Liter 59Km
TDR 1 Liter 58 Km

Akselerasi Jarak Waktu
Standar 60m 4,2 detik
100m 7,5 detik
DC Booster 60m 3,9 detik
100m 7,1 detik
EXR 60m 4,0 detik
100m 7,5 detik
TDR 60m 4,0 detik
100m 7,4 detik

Sumber : Otomotifnet.com

Komparasi CDI Aftermarket Buat Supra

Setelah sebelumnya melakukan tes optimalisasi bahan bakar dengan berbagai macam produk pengirit bahan bakar yang di rancang oleh Hendry Martin, ST. Kali ini Otonetters, komunitas member di Forum OTOMOTIFNET.COM kembali mengibarkan bendera Otoneters Indepnedent Tester dengan melakukan pengetesan CDI programmable untuk Honda Supra X125.

Sekaligus dipilih 4 merek dalam pengetesan ini yaitu BRT, Rextor, XP202 dan Cheetah Power. Syaratnya harga jual masing-masing CDI yang diiukutkan dalam komparasi ini harus tidak lebih Rp 500 ribu. Harga ini paling ideal untuk kebutuhan korek harian atau sekedar plug & play pada motor dengan spek standar.

Pengetesan CDI berlangsung cukup panjang dari akhir Februari hingga awal April ini. Panjangnya waktu disebabkan ada empat variable pengetesan yang dites secara terpisah. Yaitu, peak rpm untuk mencari siapa yang punya limiter paling tinggi. Kemudian ada tes akselerasi dengan menggunakan alat ukur Racelogic.

Dilanjutkan dengan melakukan tes konsumsi bahan bakar dan terakhir tes power dan torsi dengan dyno tes. Tujuan pengetesan ini dalam beberapa tahapan terpisah, bukan untuk mencari siapa yang terbaik diantara keempat CDI tersebut. Tapi lebih berfungsi untuk memetakan mana yang terbaik sesuai kebutuhan konsumen. Mengingat tiap CDI memiliki karakter yang berbeda satu sama lain.

Motivasi konsumen dalam memilih CDI pun berbeda-beda. Ada yang mengganti CDI sekedar karena mencari tenaga besar tapi ada juga yang hanya ingin akselerasi motornya makin ngacir atau malah ingin konsumsi bahan bakarnya semakin irit. So, mari ikuti ringkasan dari empat proses pengetesan ini.

Pengetesan ini dilakukan pada sebuah Honda Supra X125 pinjaman dari PT Astra Honda Motor (AHM) dalam kondisi benar-benar baru dan standar tanpa ubahan apapun. Juga dipilih tiga tester untuk menjalani semua rangkaian pengetesan. Dua dari member Forum OTOMOTIFNET.com (Bintang Pradipta dan Spidlova) dan satu wakil dari redaksi OTOMOTIFNET.com (Popo).

Dalam keseluruhan pengetesan ini digunakan kurva yang telah direkomendasikan oleh masing-masing produsen CDI. BRT meminta klik kurvanya disetting di posisi angka 8 yang artinya timing pengapian di atur pada 35 derajat sebelum titik mati atas. Rextor memilih kurva ditaruh di posisi angka 0. Sedang Cheetah Power menyarankan untuk menggunakan kurva pertama. Dan XP202 karena tidak memiliki pilihan kurva maka langsung colok.

Pengetesan Tahap 1 : Siapa Limiter Tertinggi?

Bertempat di bengkel Otomotif Service Station (OSS), pengukuran dilakukan dengan rpm meter merek BRT. Suhu mesin dipatok 70 derajat celcius dengan toleransi 5 derajat celcius. Masing-masing CDI dapat giliran digeber dua sampai tiga kali. Hasilnya saat di gas pada putaran mesin( rpm) paling tinggi, semua CDI ini mampu membuat mesin berteriak lebih dari 12.000 rpm. Bandingkan dengan CDI standar yang hanya bermain di angka 9.000 rpm.

CDI Standar = 9.841 rpm
CDI BRT Neo Click = 12.930 rpm
CDI Cheetah Power CP 400 = 12.700 rpm
CDI XP = 12.400 rpm
CDI REXTOR = 12.280 rpm

Pengetesan Tahap 2: Siapa Akselerasi Tercepat?

Bertempat di depan kantor OTOMOTIFNET.com pengetesan akselerasi dimulai pada jam 11 malam saat kondisi jalan sudah benar-benar lengang. Panjang lintasan sekitar 300 meter, 200 meter untuk pengetesan dan 100 untuk jarak pengereman. Panjang trek ini mirip panjang lintasan drag bike yang panjangnya 201 meter.
Kondisi mesin tetap standar tanpa ubahan apapun. Dan semua tester (Bintang pradipta, Spidlova dan Popo) punya kesempatan 2 kali running untuk tiap CDI. Hasil di bawah ini diambil catatan waktu terbaik untuk 100m dan 200m. Catatan waktu selama pengetesan ini diukur dengan alat ukur Racelogic.

CDI Standar
Spidlova
Distance(m) Time(s)
0-100 10.0
0-200 14.7
Bintang Pradipta
0-100 11.7
0-200 16.7
Popo
0-100 09.0
0-200 14.1

CDI BRT Neo Click
Spidlova
Distance(m) Time(s)
0-100 10.3
0-200 15.1
Bintang Pradipta
0-100 09.4
0-200 14.2
Popo
0-100 08.5
0-200 13.3

CDI Cheetah Power CP 400
Spidlova
Distance(m) Time(s)
0-100 08.1
0-200 12.9
Bintang Pradipta
0-100 09.6
0-200 14.6
Popo
0-100 09.3
0-200 14.4

CDI XP
Spidlova
Distance(m) Time(s)
0-100 09.5
0-200 14.4
Bintang Pradipta
0-100 09.7
0-200 14.6
Popo
0-100 09.1
0-200 14.0

CDI REXTOR
Spidlova
Distance(m) Time(s)
0-100 10.6
0-200 15.4
Bintang Pradipta
0-100 09.6
0-200 14.5
Popo
0-100 09.2
0-200 14.1

Pengetesan Tahap 3: Sipa Konsumsi Bahan Bakar Teririt?

Pengukuran konsumsi bahan bakar dilakukan dengan menggunakan burette (gelas ukur), cara pengetesannya dengan melihat siapa yang paling cepat menghabiskan 100ml bensin. Secara sederhana dari hasilnya bisa dilihat, yang cepat habis berarti boros sedang yang lama abisnya berarti irit.

Saat pengetesan motor dalam keadaan diam dengan suhu mesin dipatok pada kurang lebih 70 derajat celcius. Dan putaran mesin dibuat statis pada 5000rpm. Pengukuran dilakukan dengan 3 stopwatch yang dipegang oleh Arseen lupin, Nanda, dan David. Didapat hasil rata-rata sebagai berikut:

CDI Standar : 1 menit 16 detik
CDI BRT Neo Click : 1 menit 25 detik (penghematan 11,84%)
CDI Cheetah Power CP 400 : 1 menit 22 detik (penghematan 7,89%)
CDI XP : 1 menit 15 detik (lebih boros 1,31%)
CDI Rextor : 1 menit 17 detik (penghematan 1,31%)

Pengetesan Tahap 4: Siapa Power Tertinggi?

Test terakhir ini dilakukan di dynamometer bermerek Dyno Dynamic milik bengkel Khatulistiwa dikawasan Jl Pramuka, Jakarta Timur. Pengetesan dyno dilakukan tanpa ubahan apapun pada motor. Bahkan settingan angin dan bensin pada karburator dibuat seragam meski gonta ganti CDI. Pengetesan dilakukan 2 kali, dengan spuyer standar dan dengan spuyer yang sudah naik satu step dari standar. Ukuran 35/75 menjadi 38/78.

CDI juga tetap menggunakan pilihan klik/kurva yang sama dengan 3 test sebelumnya. Pada pengetesan ini suhu mesin dipatok seragam pada 90 derajat celcius sebelum mesin digas. Berkat blower yang dipasang di dekat blok silinder suhu mesin selama pengetesan bisa stabil dikisaran 100-110 derajat celcius. Dan tiap CDI punya kesempatan 5 kali run. Hasil yang diperoleh cukup mencengangkan.
Sesi pertama tanpa jeting
Max Power CDI Standar : 8 dk
Max Power CDI XP : 7,8 dk
Max Power CDI Rextor : 7,9 dk
Max Power CDI Cheetah Power : 7,3 dk
Max Power CDI BRT : 7,7 dk
Sesi kedua dengan jeting
Max Power CDI Standar : 7,4 dk
Max Power CDI XP : 6,1 dk
Max Power CDI Rextor : 7,5 dk
Max Power CDI Cheetah Power : 6,8 dk
Max Power CDI BRT : 7,3 dk
Untuk diskusi lebih jauh tentang proses dan hasil pengetesan ini silahkan bergabung dalam forum diskusi di : Forum OTOMOTIFNET.COM di thread Test & Komparasi Produk – Komparasi CDI Lokal

Sumber : Otomotifnet.com

Komparasi CDI Aftermarket Buat MIO Bore Up

Ibarat sayur kurang garam, kalau peranti CDI racing tidak ikut nimbrung dalam racikan motor kenceng. Seperti halnya M. Adi Sucipto, karena Yamaha Mionya sudah diupgrade jadi 150 cc dan pakai knalpot racing, tetap saja perlu ditambah CDI aftermarket.

Namun pria yang tinggal di daerah Kemang, Jaksel ini masih bingung mau pakai merek apa yang pas buat skutiknya itu! Nah buat menjawab masalah Adi dan Miomania lain, Tim OTOMOTIF pun melakukan pengetesan 3 CDI; PNP Racing Part, XP dan BRT.

Sebelum melihat hasil tes ketiga CDI tersebut, cek hasil tes CDI standarnya lebih dulu. Hasil pengujian pakai alat dynotest Sportdyno V 3.3 milik Sportisi Motorsport di Jl. Cempaka Putih Raya 112 D, Jakpus, menunjukkan tenaga kuda sebesar 12,890 dk/7.112 rpm dan torsi maksimal 22,37 Nm/3.431 rpm.

XP 202 MC
Produk yang diklaim tanpa batas pengapian ini dibanderol Rp 350 ribu. Hasil pengetesan menunjukkan kenaikan tenaga kuda 0,452 dk dari standarnya menjadi 13,342 dk/6.797 rpm. untuk torsi misalnya bertengger di angka 21,31 Nm/3.812 rpm.

Ini menunjukkan putaran ba¬wahnya lebih bagus dibanding putaran atas. Pada grafik juga ditunjukkan, kondisi rata-rata naik dan secara perlahan turun. Bagi yang berminat bisa diperoleh di toko-toko aksesori terdekat Anda.

PNP Racing Part
Peranti peningkat letikan bunga api busi di ruang bakar yang dibanderol Rp 300 ribu ini menunjukkan kenaikan tenaga ku¬¬da 0,552 dk dari stan¬darnya. Karena CDI ini mampu mem¬bukukan angka 13,442 dk/7.073 rpm. Kondisi putaran mesin rata-rata stabil, baru kemudian turun.

“CDI ini tanpa limit. Pada putaran mesin berapapun, sanggup menyuplai api yang stabil,” ungkap Hasan, yang memasarkan produk ini di Jl. Kelapa Dua Raya, Kebon Jeruk, Jakbar.
Hasan Motor : 081315.315.117

BRT Dualband
Tenaga kuda yang dihasilkan CDI produk Cibinong ini mampu naik 0,510 dk dibanding standar dan menjadi 13,400 dk/7.004 rpm. Untuk torsi mak¬si¬malnya termasuk pa¬ling ting¬¬gi dibanding CDI kompetitor, yakni 22,85 Nm/3.485 rpm. Te¬naga cenderung naik dan selanjutnya stabil.

“Prinsip dasar CDI adalah kalau api besar pembakarannya akan lebih sempurna, se¬hingga tenaga yang dihasilkan juga bertambah,” ulas To¬my Huang, bos CDI BRT. Harga peranti ini Rp 450 ribu.

BRT : 0811913226

Sumber : Otomotifnet.com

Modifikasi PnP buat Honda CS1

Beberapa waktu silam OTOMOTIF sempat menguji beberapa produk high performace bersifat plug and play (PnP) buat Honda CS-1. Di antaranya CDI dan knalpot free flow. Nah, lantaran banyak pembaca yang kerap menanyakan via email seperti apa khasiat part-part tersebut bila dikombinasi, maka kali ini kami akan coba meramu beberapa komponen PnP CS-1 tersebut.

Tentu lewat pengujian dyno, biar lebih nyata seberapa besar peningkatan tenaga dan torsi yang bakal dihasilkan. Ada 3 item sekaligus di CS-1 yang coba kami upgrade fungsinya. Selain otak pengapian dan saluran gas buang, kami juga coba mengganti karburator standarnya yang model vakum pakai tipe skep langsung. Berikut laporannya.

CDI
Tak bisa dipungkiri, sektor pengapian termasuk salah satu bagian yang bisa menyumbang perbaikan performa. Banyak cara yang bisa dilakukan guna meningkatkan kinerjanya. Salah satunya yakni mengoptimalkan menajemen timing pengapian lewat pemakaian CDI aftermarket yang kurva pengapiannya sudah diperbaiki.

Nah, otak pengapian yang dimaksud untuk CS-1 di pasaran ada merek BRT, XP Ciomas Rextor. Namun pada kesempatan ini kita akan coba produk BRT tipe termurah (Neo Hyperband) yang harga eceran tertingginya Rp 405 ribu.

Dari hasil pengukuran dyno merek Dynojet Model 250i buatan Amerika, pemakaian CDI di CS-1 standar mampu mendongkrak horse power sebanyak 0,42 dk, yakni dari 10,41 dk jadi 10,83 dk/9.000 rpm. Tenaga pun sudah mulai terkoreksi sejak di 4.050 rpm. Begitu pula terhadap torsi maksimum, yang semula hanya 6,74 lb.ft (9,14 Nm), naik jadi 6,76 lb.ft (9,16 Nm)/7.850 rpm.

BRT : 021-8765447

Knalpot
Dari beberapa pengujian yang pernah kami lakukan di beberapa motor, penggantian saluran gas buang pakai jenis free flow mampu mengerek tenaga mesin standar sekitar 5-15%. Apalagi dibarengi settingan yang pas. Baik itu pada menajemen timing pengapian maupun perbandingan campuran bensin plus udara di karburator.

Untuk membuktikannya, kami memilih saluran gas buang merek Ahau Motor seharga Rp 400 ribu. Saat dikombinasi CDI BRT, horse power langsung melonjak jadi 12,07 dk. Artinya terjadi peningkatan sebesar 1,66 dk dari kondisi standar.

Sementara torsi puncak terkerek dari 6,74 lb.ft (9,14 Nm) jadi 6,93 lb.ft (9,39 Nm) .

Ahau Motor: 021-87710836

Karburator
Perlu diketahui, karburator asli CS-1 mengusung jenis scanner union (SU) alias model vakum dengan diameter venturi 28 mm. Tipe seperti ini, skep karbu bergerak berdasarkan tingkat kevakuman di ruang bakar. Sehingga dari segi akselerasi, tentu kurang begitu spontan.

Nah, pada kesempatan ini kami mencoba untuk menukar karburator standar pakai yang model skepnya ditarik langsung oleh kabel gas. Dengan harapan power mesin akan lebih responsif. Karbu yang dipilih adalah Keihin PE dengan diameter venturi sama dengan karbu bawaan motor (28 mm). Kebetulan juga karbu ini mudah ditemui di pasaran dengan banderol sekitar Rp 800-850 ribuan.

Namun karena jettingnya belum pas (pilot jet pakai ukuran 58, main jet 118), hasilnya belum bisa maksimal.

Sumber : Otomotifnet.com

Komparasi Karburator Venturi 26mm

Dalam urusan upgrade performa besutan, banyak hal bisa dilakukan. Mulai kilik ruang bakar, ganti CDI racing, pasang knalpot aftermarket sampai mengupgrade part pengabutan.

“Untuk upgrade part pengabutan, biasanya yang dilakukan adalah mengganti karburator standar dengan yang venturinya lebih besar. Contoh bila standar bawaan motor pakai karbu berventuri 24, maka penggantinya bisa pakai yang ukuran 26,” terang Suar, salah satu mekanik tim balap BRT.

Nah untuk mengganti karbu, konsumen dihadapkan pada 2 pilihan. Pertama pakai tipe vakum dan berikutnya adalah karbu yang skepnya langsung ditarik kabel gas (non vakum). Pasti jadi bingung deh memilihnya. Tenang, agar enggak bingung Tim OTOMOTIF coba mengomparasikan ke-2 tipe karbu tersebut.

Alat tesnya, skutik Honda BeAT yang punya karbu vakum berventuri 24. Untuk upgrade, dipilih karbu berventuri 26 punya Suzuki Satria FU (vakum) dan Yamaha RX-King (non vakum).

Metode pengetesan, karburator dipasang secara bergantian pada alat tes dan kemudian diukur pakai dynometer milik Bintang Racing Tim (BRT) di Cibinong, Jabar. Oh ya, saat pakai karbu standar power BeAT nangkring di angka 6,38 dk/7.510 rpm dan torsinya 7,11 Nm/6.100 rpm. Mau tau bila ganti karbu? Simak yang berikut.

Karbu Satria FU

Karbu RX King
Suzuki Satria FU 150
Enggak haram kok dari karbu vakum 24 mm punya BeAT, diupgrade jadi 26 mm tetap vakum punya Satria FU. Namun, tetap saja penggantian ini ada konsekuensi yang bakal dihadapi. “Nyettingnya lumayan rumit. Karena banyak item yang mesti disesuaikan,” bilang Suar.

Buktinya meski berhasil mengombinasi ukuran spuyer yang pas, yakni main jet pakai punya BeAT ukuran 105 (aslinya FU 115) dan pilot jet naik dari 17,5 (standar FU) jadi 22,5, performa yang dihasilkan (diukur lewat dynometer) masih di bawah standarnya BeAT (lihat hasil dyno). “Putaran mesin agak lama teriaknya. Efek yang akan ditimbulkan, buat mencapai top speed jadi lebih lama,” analisa Suar.

Yamaha RX King (VM26)
Dengan pakai main jet ukuran 100 (standar BeAT 105), pilot jet 22,5 dan klip jarum skep ada pada posisi ulir nomor 2 dari atas, ternyata bisa membuat tenaga BeAT mengalami peningkatan jadi 6,81 dk/8.400 rpm (lebih besar 0,47 dk dibanding pakai karbu standar). Semetara torsinya bisa didongkrak menuju angka 7,18 Nm/6.100 rpm.

“Aplikasi karbu RX-King, membuat BeAT galak di putaran atas dan mulai terasanya saat mesin ada pada 7.000 rpm. Namun putaran bawahnya jadi sedikit lelet,” ungkap Suar.

Sebelum ketemu setingan yang boleh dibilang pas, juga dicobakan pakai main jet 130 dan pilot jet 22,5, hasilnya motor jadi kaya bensin dan mengeluarkan asap hitam. Hasil grafik dynonya tentu jadi enggak sesuai harapan.

Kesimpulan
Melakukan upgrade karbu (vakum atau non vakum) dengan ukuran yang lebih besar, ternyata tak semudah membalikkan tangan. Mesti lebih teliti untuk jajal banyak ukuran main dan pilot jet.

Treatment pada masing-masing karbu enggak jauh beda, sama-sama menurunkan ukuran main jet dan sedikit menaikkan pilot jet. Khusus pengaplikasian karbu punya FU, per yang keras membuat skep bergerak lambat. Maklum mesin FU kan 150 cc, jadi tingkat kevakumannya berbeda dari mesin BeAT. Solusinya, ganti per diafragma dengan yang lebih lembut tekanannya.

Sumber : Otomotifnet.com

Komparasi HHO vs HCS

Akhirnya tes yang ditunggu tiba juga waktunya. Kemarin, hari Minggu (7/5) bertempat di gedung KompasGramedia dilakukan pengetesan sekaligus terhadap dua alat penghemat bahan bakar yang selama ini banyak dibicarakan baik di milis maupun forum otomotif. Kedua alat yang dimaksud adalah HCS dan HHO.

Pengetesan dilakukan pada dua sepeda motor yang dibawa masing-masing si empunya alat. Team HHO membawa Honda Blade tahun 2009 sedangkan team HCS membawa Honda Supra Fit tahun 2004. Semua motor dalam kondisi standar dan masing – masing alat telah terpasang sebelumnya. Kedua motor ini merupakan pilihan masing – masing peserta tes karena redaksi tidak mensyaratkan motor untuk pengetesan.

Metode pengetesan adalah dengan kondisi diam, karena cara ini dianggap bisa mengabaikan faktor lain seperti kondisi jalan, suhu, bobot pengendara dan lainnya. Tes diam ini menggunakan alat-alat yaitu gelas ukur, stopwatch, tachometer dan sensor panas.

Tes pertama dilakukan tanpa menggunakan alat optimalisasi. Untuk sementara alat dicabut dari masing-masing motor. Berikut adalah hasil catatan waktu yang diperlukan masing-masing motor untuk menghabiskan 10ml Pertamax dalam tiga kondisi putaran mesin, yaitu 1500rpm, 4000rpm dan 7000rpm. Ketiga posisi rpm tersebut disepekati bersama dan dianggap mewakili pengendaraaan saat putaran rendah, menengah dan atas.

Motor Honda Supra Fit 2004 ( kondisi standar )
- 1500 rpm : 5 menit 41 detik
- 4000 rpm : 2 menit 12 detik
- 7000 rpm : 1 menit 6 detik

Motor Honda Blade 2009 ( kondisi standar )
- 1500 rpm : 3 menit 18 detik
- 4000 rpm : 1 menit 15 detik
- 7000 rpm : 45 detik

Setelah itu, kedua motor dipersilahkan memasang alat optimalisasinya masing-masing dan menyiapkan motornya sebaik mungkin untuk dilakukan pengetesan kedua. Metode pengetesan masih sama dengan tes yang pertama. Berikut catatan waktu yang dibutuhkan motor untuk menghabiskan 10ml Pertamax.

Motor Honda Supra Fit 2004 ( kondisi terpasang HCS )
- 1500 rpm : 8 menit 44 detik ( penghematan 53% dibandingkan kondisi standar )
- 4000 rpm : 2 menit 37 detik ( penghematan 18,9% dibandingkan kondisi standar )
- 7000 rpm : 1 menit 7 detik ( penghematan 1,5% dibandingkan kondisi standar )

Motor Honda Blade 2009 ( kondisi terpasang HHO )
- 1500 rpm : 3 menit 14 detik ( penghematan 2% dibandingkan kondisi standar )
- 4000 rpm : 1 menit 21 detik ( penghematan 8% dibandingkan kondisi standar )
- 7000rpm : 45 detik ( tidak ada penghematan )
Hasil yang didapatkan memang sepertinya masih belum maksimal. Hal ini dikarenakan masih adanya beberapa masalah yang terjadi di alat optimalisasi. Bagaimanapun, inilah hasil akhir komparasi kedua alat optimalisasi pada dua sepeda motor. Hasil ini bisa didiskusikan lebih lanjut di forum OTOMOTIFNET.

Sumber : Otomotifnet.com

Komparasi Pertamax vs Additive

Perbaikan kualitas bensin, selalu jadi salah satu jargon promosi para pedagang cairan additive. Kata lainnya, dengan pengaplikasikan cairan ter¬sebut, efek yang ditimbulkan adalah membuat proses pembakaran jadi lebih sempurna. Karena memperbaiki mutu bahan bakar (Premium jadi setara Pertamax). Ujung-ujungnya adalah soal pengiritan bahan bakar.

Terus apa bedanya dengan meng¬aplikasi langsung Pertamax yang notabene oktannya lebih tinggi? Nah untuk menjawab pertanyaan tersebut, kami coba membandingkan efek yang ditimbulkan baik saat memakai Pertamax dan Premium dicampur cairan additive.

“Seberapa besar pengiritan bahan bakar yang dicapai, bila kita langsung ganti aliran dari bensin murni ke Pertamax atau ke bensin yang dicampur cairan additive?” jelas Mr. Testo.

Alat tes yang dipakai, Suzuki Skywave keluaran 2008 yang sudah pakai CDI racing XP 202. Metode pengetesannya, skutik itu digeber langsung menempuh jarak 15,5 km, dengan kecepatan rata-rata 60 km/jam dan bobot Mr. Testo 65 kg.

Bahan bakar dipakaikan se¬ca¬ra bergantian. Caranya de¬ngan memasukkan 500 ml ke dalam ta¬bung infus yang alirannya lang¬sung masuk ke karburator.

“Agar ruang bakar bersih dari efek yang ditimbulkan saat pemakaian Pertamax atau Premium bercampur additive, maka setiap pergantian bahan bakar motor dibiarkan tetap menyala selama 10 menit. Tentu Premium murni yang dipakai buat proses tersebut,” kata Mr. Testo.

Saat pengetesan awal meng¬gunakan Premium, dari 500 ml yang ada di tabung infus terpakai 290 ml. Dengan perhitungan jarak tempuh: bensin terpakai didapat pemakaian bensin 1 liter untuk 53,4 km.

GO-100
Aturan pakai cairan produk lokal dalam kemasan botol 10 ml ini adalah cukup 2-3 tetes untuk 1 liter bensin. Dalam urusan pindah aliran secara langsung, pakai cairan yang berbanderol Rp 20 ribu ini, Skywave bisa menjelajah 15,5 km dengan pemakaian bensin 260 ml (hitung-hitungannya jadi 59,6 km/l).

“Pengiritannya bisa mencapai 11,6%. Untuk urusan mesin, eng¬gak ada bedanya dengan pakai Premium,” ungkap Mr. Testo.

Pada pemakaian Pertamax, selain pengiritan 7,5% juga didapat reaksi mesin lebih res¬ponsif. Sementara saat pakai additive, tarikannya mirip-mirip saat pakai Premium. Hanya saja, didapat pengiritan konsumsi bahan bakar.

Oh ya tiap additive bisa dipakai untuk 100 liter bensin. Mau tau penghematan (dari segi biaya) yang terjadi bila pakai masing-masing produk itu dalam 100 liter pemakaian bahan bakar? Nih, hitungannya.

Pertamax
Bensin berwarna biru ini kan¬dungan oktannya 92 dan saat ini per liternya dijual Rp 6.800. Saat Skywave digeber langsung, sisa Pertamax di dalam tabung infus 230 ml (dari 500 ml).

Dengan demikian, angka 57,4 km bisa tercapai untuk pemakaian 1 liter Pertamax. “Meski pengiritannya hanya 7,5%, pakai Pertamax tarikan motor terasa lebih enteng,” tutur Mr. Testo.

Autobless
Untuk 1 ml cairan impor dari Amerika dalam kemasan 20 ml ini, dapat digunakan pada 5 liter bensin. Dengan pemakaian langsung ke Skywave, additive yang dihargai Rp 25 ribu ini menyedot bensin dalam tabung infus sebanyak 250 ml (dari 500 ml). Jadi jarak yang bisa ditempuh dengan mengandalkan 1 liter bensin campur Autobless adalah 62 km.

“Performa mesin masih terasa sama seperti pakai Premium. Walau demikian hitungan per¬sentase pengiritannya bisa sampai 16,1%,” jelas Mr. Testo.

Kesimpulan
Walau uji coba dilakukan secara langsung mengganti ba¬han bakar yang biasa dipakai Skywave, tetap saja ada efek pengiritan yang terjadi.

Sumber : Otomotifnet.com

ps. Hati-hati dalam pemakaian additive dalam jangka panjang. Berdasarkan pengalaman dari teman di HVCer dan pengguna Vario yang lain, biasanya menyebabkan pengendapan kotoran di injektor/karburator.

Aplikasi CDI Aftermarket Buat Harian

Apa sih CDI racing harian itu? Dari sisi alam, keduanya berbeda. Satu untuk motor balap, satu lagi untuk motor harian. Tapi, taunya sekarang sudah ada CDI racing yang dibuat untuk motor harian. Akh, masa?

Iya, sudah banyak merek CDI racing harian beredar di pasaran. Tapi, masih banyak yang salah kaprah anggapan tentang CDI racing harian (lihat boks). Ketimbang mumet, starter motor, gas pol ke Cibinong, markas BRT. Ngueeeng.

Ciiit….di Cibinong ketemu Tomy Huang. “CDI racing harian adalah CDI yang kurva pengapiannya sudah diremapping. Artinya, kurva pengapian sudah dibuat advance. Caranya, dengan mengubah derajat pengapian yang dibikin advance,” jelas Tomy Huang.

Misalkan, Honda Supra 125. Derajat pengapian standarnya 33 derajat sebelum Titik Mati Atas (TMA). Dengan CDI racing harian, kurva pengapian diubah hingga 35 derajat sebelum TMA.

Ubahan ini juga diikuti oleh grafik pengapian di setiap putaran mesin atau rpm. Di Supra 125, dengan CDI standar, saat rpm 3.000, posisi kurva di 33 derajat. Setelah itu flat dan tidak berubah.

Dengan CDI racing harian grafik berubah total. Di rpm 2.500 kurva CDI racing harian bergerak di 27 derajat. Di rpm 3.000, kurva berada di 35 derajat. Dan saat di rpm 10.000 kurva berada di 34 derajat sebelum TMA. Begitu, bozz.

Dengan kurva yang lebih advanced fungsinya untuk memaksimalisasi tenaga motor. Ibaratnya pake doping. Lebih bagus lagi jika dibarengi penggunaan besin oktan tinggi. Tenaga motor dipastiken bakal lebih melesat. Wusss…!

SALAH KAPRAH CDI

Masih banyak anggapan salah kaprah soal istilah CDI racing. Dulu, asal CDI bentuknya besar, maka sudah bisa disebut CDI racing. Kalau begini sih, CDI standar dibungkus pakai kardus mi instan, sudah bisa disebut CDI racing dong.

Berikutnya, membuat CDI tanpa limiter dan mampu mengeluarkan api besar, dialah CDI racing. Lagi-lagi, ini juga belum tepat. “Karena, CDI racing di harian, tidak memperbesar pengapian, tapi mengubah derajat kurva,” jelas Tomy yang pasti Huang.

Kenapa, ditinjau dari segi teknis, api besar malah cenderung berbahaya. Karena dengan pengapian besar, maka radiasi kelistrikan semakin besar. Radiasi ini muncul karena pengapian besar, bisa memercikan api hingga dua kali di setiap siklus pembakaran. Padahal, lazimnya CDI hanya mengeluarkan satu letupan saat di satu siklus.

Bila meletup dua kali, bisa dibayangkan dong, piston belum menyentuh TMA eh sudah disamber api. Setelah itu, saat menyentuh TMA kembali CDI ini meletupkan api. Apa yang terjadi? Mesin motor bakal rontok.
Kalau ini terjadi, siapa yang rugi? Siapa ya?

OPTIMALISASI DI MOTOR HARIAN

Banyak keluhan mampir ke awak Em-Plus. Setelah mengganti CDI motor standar veris racing, eh power motor kok tidak bertambah. Tenaga yang dihasilkan sami mawon bin pada bae, Son. Sebetulnya, CDI yang salah atau ada perlakuan khusus biar kerja motor harian makin optimal.

”Sebetulnya, sudah ada peningkatan tenaga sejak motor digeber mulai gigi satu. Hanya saja tidak terasa instan karena perbadingan rasio motor di gigi paling akhir, cenderung dibikin soft,” jelas Tomy Huang pemilik merek dagang BRT ini.

Jelasnya begini. Sebelum mengadopsi CDI racing, perbandingan gigi persneling dan kecepatan motor rata-rata tercatat seperti ini: Gigi 1 kecepatannya hingga 20 km/jam (kpj). Gigi 2 hingga 40 kpj, gigi 3 sampai 80 kpj dan gigi 4 menyentuh 100 kpj.

Nah, setelah diganti CDI racing, peningkatan power terlihat pada gigi 1 melesat hingga 40 kpj. Gigi 2 merangsak hingga 80 dan gigi 3 tembus 100 kpj. Nah, saat di gigi 4, power masih ada, “Tapi mesin cuma teriak doang karena perbandingan gigi rasionya sudah habis,” tambah pria berkulit bersih ini.

Itu yang menyebabkan seolah ganti CDI racing tidak ada efeknya. Untuk mengoptimalkannya, gampang kok. Tak perlu seting njlimet. Tergantung berapa HP atau horse power yang akan dicapai.

“Dengan mengganti CDI racing, sebetulnya sudah menaikkan minimal satu dk atau setara dengan knalpot racing harian. Kalau mau lebih ada beberapa ubahan tambahan,” tambah M. Novel Faizal, General Manajer Rextor.

Cara paling gampang, mengganti sproket belakang dengan satu mata lebih kecil. Misalkan Yamaha Vega standar pakai 35, maka diganti dengan sproket bermata 34. Dijamin, top-speed motor semakin naik.

Bila penggantian sproket dirasa kurang, maka bisa mengadopsi knalpot racing. Tapi, aplikasi knalpot racing juga kudu dibarengi peningkatan angka spuyer. Karena, dengan knalpot racing yang rata-rata frew flow, “Maka tendangan balik ke mesin jadi kurang. Juga konsumsi bahan bakar lebih banyak, makanya karburator sedikit dibikin boros,” jelas Tomy.

Makin sip “Kalau bahan bakar memakai oktan lebih tinggi. Misalkan, Pertamax atau Pertamax Plus. Dijamin, motor bakal lebih ngacir,” tutup M. Novel.

Sumber : Motorplus Online

Setting karburator Setelah Aplikasi Knalpot Aftermarket

Dari beberapa email yang kami terima, banyak yang mengeluh lari motor mulai gak enak, muncul gejala aneh seperti knalpot nembak, larinya di putaran atas ngedrop setelah mengaplikasi knalpot free flow dan sebagainya.

Nah, biasanya yang kerap jadi sumber permasalahan dari problem-problem tadi adalah di komponen pengabut bahan bakar. “Kalau lari motor mulai enggak enak, bisa jadi settingan karburator berubah. Untuk motor standar, coba setel ulang sekrup udaranya ,” kata Nuri Fatoni, mekanik general work shop AHRS di Depok, Jabar.

Caranya gampang kok. Yaitu setelah mesin dipanaskan kurang lebih 5 menit, lalu coba pelintir gas sedikit sampai putaran mesin mencapai 4.000–5.000 rpm dan tahan sembari sekrup udara atau pilot air screw diputar mentok ke kanan (searah jarum jam). Bila sudah mentok, langsung putar kembali sekrup udara tadi berlawanan arah jarum jam (ke kiri) sambil mendengarkan perubahan putaran mesin.

“Sampai pada titik putaran tertinggi, tandanya setelan udara sudah pas,” ujar Rere, mekanik Ahau Motor di kawasan Jl. Akses UI, Kelapa Dua, Depok. Untuk memastikannya, coba blayer gas dengan cara diurut sampai putaran tinggi sekitar 2-3 kali. Lalu lepas grip gas tiba-tiba. Sembari mendengarkan apakah ada gejala mbrebet, knalpot nembak atau putaran mesin seperti tersendat.

“Kalau mbrebet, artinya setelan udara masih terlalu menutup. Sedang kalau knalpot nembak, suplai udara kebanyakan alias setelan udara terlampau membuka. Sebaliknya kalau tersendat, ada beberapa kemungkinan. Setelan udara belum tepat atau posisi jarum skep terlampau turun,” tukas Nuri. Bila kejadiannya begitu, coba turunkan 1 ulir posisi klip jarum skepnya , lalu coba jajal putaran mesinnya lagi.

Oh iya, pada motor yang karburatornya mengusung jarum skep tanpa ulir kayak di Honda Tiger Revo, Kawasaki ZX130 atau motor berkarburator model vakum pada umumnya, untuk menaikkan posisi jarum skepnya bisa diakali dengan menambah ring kecil setebal 1–1,5 mm ke dalam batang jarum.

“Trik ini cukup ampuh mengatasi problem Tiger Revo yang mesinnya suka terserang overheat atau susah hidup kala dingin,” beber M. Irwan, juragan bengkel modifikasi SMS di Bekasi yang juga mantan mekanik Honda beberapa waktu lalu pada OTOMOTIF.

Selain itu, setelan ketinggian pelampung (gbr,4) yang tidak tepat juga dapat menimbulkan hal yang sama. “Di samping bisa bikin tarikan di putaran menengah tersendat (kalau terlalu tinggi), juga bisa mengakibatkan knalpot nembak,” timpal Puguh Nuryanto, tunner bengkel racing Overtune di Cimanggis, Depok. Kejadian ini pernah ditemuinya pada Yamaha Scorpio Z.

Menurut Puguh, hal tersebut lantaran volume bensin dalam mangkuk kurang bisa memenuhi kebutuhan saat terisap. Nah, dengan menurunkan ketinggian pelampung pada karbu Scorpio sekitar 1-2 mm, kendala nembak bisa teratasi lantaran suplai bensin tercukupi. Namun bila semua langkah itu tidak membuahkan hasil, baru deh lakukan penggantian pilot jet

Umumnya, ukuran pilot jet (pj) dinaikkan 1 step. Langkah ini juga biasa diterapkan mekanik saat knalpot diganti pakai jenis free flow. “Sedang main jet tak perlu bila mesin masih standar. Kecuali bila hasil pembakaran di busi menunjukkan pasokan gas terlalu kering di atas (busi berwarna putih). Tandanya main jet minta dinaikkan,” terang Rere.

Tapi pada beberapa kasus, terutama di motor berkarburator vakum yang knalpotnya masih standar, “Bila knalpotnya nembak, pilot jet malah minta dikecilin 1 step. Itu gue temui di beberapa Suzuki Satria FU150,” aku Puguh. Sebab dari beberapa kali uji coba, kendala nembak pada ayam jago berlambang S tersebut langsung hilang kala ukuran pilot jet diturunkan 1 step.

Sumber : Otomotifnet.com

Komparasi Knalpot Aftermarket Buat Ninja 250

Meski sudah mengusung performa dahsyat dari sononya, ternyata masih saja banyak pemilik Kawasaki Ninja 250R yang tak puas sama larinya.

Sehingga peranti pendongkrak tenaganya pun lantas diburu. Salah satunya yang kerap jadi pilihan pertama adalah knalpot free flow. Karena peranti ini cukup menyumbang performa lumayan banyak tanpa perlu korek mesin.

Uniknya, meski dibanderol mahal sekalipun, terutama untuk produk luar, tetap saja ditebus. Sebab diyakini mampu menghasilkan performa lebih baik.

Padahal belum tentu demikian. Buatan-buatan lokal tak bisa dipandang sebelah mata, lo. Enggak percaya? Simak ulasan berikut ini sekaligus pembuktian lewat pengukuran dynamometer milik Bintang Racing Team (BRT) di Cibinong, Jabar.

Monster
Di-develop sendiri oleh Ngayun Speed yang beralamat di Jl. Raya Panjang No.1, Kebon Jeruk, Jakbar. Bahan pipa maupun silencer-nya stainless, sehingga lebih tahan karat. Dibanderol Rp 1,5 juta.

Pemakaian knalpot ini saat diuji pada Ninja 250 standar yang baru menempuh jarak sejauh 741 km ini mampu mendongkrak horse power 1,57 dk. Yakni dari 24,24 dk/11.000 (standar) jadi 25,81 dk di putaran 12.050 rpm. Sayang torsi puncak malah turun dari 13,56 lb.ft (18,38 Nm)/9.800 rpm (standar) jadi 13,20 lb.ft (17,9 Nm)/6.000 rpm.

“Secara grafik sih torsi di putaran bawahnya jadi lebih bagus. Namun masuk 7.250-11.000 rpm torsinya melemah. Tapi itu bisa diperbaiki dengan melakukan setting ulang karburator,” analisa Slamet, mekaknik BRT yang bertindak sebagai operator dyno.

Pitstop
Juga dari stainless. Namun pada permukaan silencer yang dibentuk three oval dilapis fiberglass yang kemudian dimotif carbon look. Sehingga secara tampilan jadi tampak eksklusif, sekaligus bisa meredam panas yang timbul. Penggarap knalpot seharga Rp 3 juta ini, bengkel Pitstop di Jl. Raya Pesanggrahan No.8, Srengseng, Jakbar.

Dari hasil dyno, knalpot ini berhasil mengerek tenaga maksimum Ninja 250 sebanyak 2,43 dk di putaran yang lebih tinggi, yakni 11.400 rpm. Torsi di putaran 4.800-8.000 rpm pun meningkat. Meski di 8.600–10.000 rpm torsinya menurun.

AHRS F4
Jagoan terbaru Asep Hendro Racing Sport (AHRS) di Jl. Tole Iskandar, Depok Timur, Jabar ini dilego seharga Rp 2,2 juta. Juga dari stainless dengan bentuk silencer bulat biasa yang permukaannya diberi ulir. Menurut H. Asep Hendro, produk perdananya buat Ninja 250 ini masih belum maksimal.

“Kami masih terus meriset yang lebih oke lagi. Rencananya bakal dikeluarkan lagi versi terbaru dengan desain lebih futuristik,” bilang Juragan, sapaan akrabnya. Meski begitu, bila dibanding rival-rivalnya, saluran gas buang berlabel F4 menghasilkan power dan torsi yang cukup baik.

Yakni mampu meningkatkan daya kuda sebanyak 3,28 dk, yakni jadi 27,52 dk di 12.000 rpm. Sementara torsi naik sebanyak 0,05 lb.ft (0,6 Nm) di putaran 8 ribuan.

Sportisi Motorsport VR6
Setelah sukses membuat knalpot Ninja 250 versi pertama yang berhasil dilego hingga ke negeri Paman Sam, Sportisi Motorsport (SM) di Jl. Raya Cempaka Putih, Jakpus kembali melansir versi terbaru, yakni VR6 ini. Ada 2 tipe yang dikeluarkan; silncer panjang seharga Rp 2,4 juta dan pendek Rp 2,2 juta.

Nah, yang kami tes adalah tipe yang disebut terakhir. “Tipe ini sengaja dirancang buat mengail torsi besar di putaran bawah. Cocok buat pemakaian harian di perkotaan. Buka-bukaannya jadi lebih galak,” terang Bram dan Wahyu Dwinanto, penggawang SM.

Terbukti dari hasil tes, knalpot ini mampu meningkatkan torsi maksimum dari 13,56 lb.ft (18,38 Nm) jadi 13,59 lb.ft (18,42 Nm). Itu pun sudah dicapai pada putaran rendah (7.000 rpm). Sementara tenaga puncak terkerek sebanyak 2,38 dk jadi 26,62 dk di 11.250 rpm.

Ngayun Speed, 021-70657163
Pitstop, 021-92900013
Sportisi Motorsport, Telp. 021-32244588
AHRS Building, 021-77820649

Sumber : Otomotifnet.com